Blogger Jateng

Kisah Raden Suryakirana, Anak Gatotkaca Yang Salah Arah



Menurut salah satu cerita pedhalangan Yogyakarta, Raden Suryakirana adalah putra satriya Pringgandani Gatotkaca yang berasal dari ari-arinya Jayasumpena dan dipuja menjadi jabang bayi oleh Hyang Baruna. keluarnya pada cerita Jumenengnya Parikesit di Ngestina.

Sejak bayi, Suryakirana tidak ikut ayah ibunya, karena sang ayah (Raden Gatotkaca) sedang melaksanakan tugasnya menjadi senopati di perang Bratayuda. Tetapi diasuh oleh Sang Hyang Baruna di Kahyangan Dhasaring Samodra supaya bisa menjadi satriya yang utama seperti ayahnya. Tetapi, sifatnya Raden Suryakirana malah jauh dari yang diharapkan oleh eyangnya. Suryakirana memang menjadi Satriya yang digdaya, tetapi mempunyai watak yang ndugal kuwarisan. Wataknya brangasan, jika mempunyai keinginan apa saja harus bisa tercapai dengan cara apapun.

Sifat dan wataknya seperti pamannya, Raden Antasena dan Wisanggeni yang juga ndugal kuwarisan.
Ketika Raden Suryakirana sudah dewasa, dia bertanya kepada Hyang Baruna, siapakah orang tuanya itu. Oleh Hyang Baruna dijelaskan bahwa orang tuanya adalah satriya Pringgandani Raden Gatotkaca. Tapi, di saat itu Raden Gatotkaca telah gugur di dalam peperangan Bratayuda Jayabinangun. Yang ada sekarang hanya saudara-saudaranya yang saat ini berkumpul di Negara Astina untuk menyaksikan jumenengnya Raden Jaka Parikesit menjadi ratu di Astina.
Sebelum pergi ke Astina, Suryakirana dijelaskan yang menjadi tanda bahwa ia telah berada di bumi Astina adalah tanahnya yang berbau wangi. Selain itu, ia juga dijelaskan mengenai saudara-saudaranya di sana. Yang dituakan di Astina adalah Dewi Utari (ibunya Parikesit), Raden Jaya Sanga (putranya Setyaki), Raden Janurwenda (putranya Setyaka), Raden Jayasumpena dan Raden Suryakaca (putranya Gatotkaca juga), dan Emban Iman Subala (putranya Udawa).
Kepergian Suryakirana dari Kahyangan Dhasaring Samodra, melalui jalan di bawah tanah/bumi. Ketika keluar dari tanah, bertemulah ia dengan Prabu Wesiaji (Ratu di Purubaya). Sejatinya Wesiaji adalah putranya Gatotkaca dengan ibu bernama Galawati/Sumpaniwati dimana saat kehamilannya, ketitisan ruhnya Raden Dursala yang telah dibunuh oleh Gatotkaca sebelumnya. Tujuannya Prabu Wesiaji ke Astina adalah ingin merebut Astina dari Raden Parikesit dengan alasan, bahwa ayahnyalah yang telah berjuang untuk kemenangan keluarga Pandhawa. Akhirnya pertemuan Suryakirana dan Wesiaji menimbulkan persilisihan dan jadilah peperangan. Tetapi Wesiaji dengan pasukannya mundur dari peperangan, dan memilih jalan yang lain.
Setelah perginya Wesiaji, di hati Suryakirana menimbulkan rasa ingin menjadi raja, merebut kekuasaan Astina. Suryakirana lalu meneruskan perjalanan menuju Astina.
Waktu itu negara Astina sedang komplang, karena si Parikesit sedang sowan ke Pertapan Grojogan Sewu untuk meminta restu jumenengannya menjadi ratu di astina, dan jika diperbolehkan, ingin mengajak sang Resi Jaladara untuk pergi ke Astina. Sedangkan Raden Janurwenda, Suryakaca, Jayasanga, Jayasumpena, dan Iman Subala sedang menghadapi pasukan dari Purubaya (Pasukannya Wesiaji).
Ketika Raden Suryakirana keluar dari bumi, ia berada di dalam kedhaton. Para abdi bubar mawut tidak karuan karena takut. Raden Suryakirana lalu mencoba untuk menduduki singgahsana/dhampar Astina peninggalan Begawan Palasara itu. Ketika ingin menduduki dhampar, seketika seperti terkena halangan yang membuatnya jatuh dari dhampar tersebut. Hingga olehnya dicoba berkali kali tetapi tetap gagal.
Akhirnya, dhampar kencana dijebol dan dibawa karena ia ingin mendudukinya di tempat yang lain, dhampar lalu dibawa sampai ke tengah hutan. Lalu ia mencoba mendudukinya lagi, tetapi tetap tidak berhasil. Sehingga dhampar dibawa pulang ke Kahyangan Dhasaring Samodra untuk meminta bantuan kepada Eyang Baruna. Sebetulnya Hyang Bruna sangat tidak setuju dengan perilakunya itu. Tapi karena Suryakirana sangat ingin menduduki singgahsana itu, lalu oleh Hyang Baruna disuruh untuk pergi ke Pertapan Grojogan Sewu, karena yang bisa mendudukinya di singgahsana itu adalah Resi Jaladara. Lalu Suryakirana pamit menuju ke Pertapan Grojogan Sewu.
Sesampainya di Grojongan Sewu, Suryakirana langsung menyatakan tujuannya kepada Eyang Resi Jaladara yaitu, supaya Sang Resi bersedia mendudukinya di singgahsana Astina itu. Tetapi oleh Sang Resi, Suryakirana disuruh mandi keramas terlebih dahulu di tujuh sungai. Tanpa berlama-lama, ia langsung menjalani perintah Sang Resi. Sejatinya, Resi Jaladara tidak ikhlas bila dhampar itu diduduki selain Parikesit.
Setelah kepergian Suryakirana, Pertapan Grojongan Sewu kedatangan sowannya Bambang Sidapaksa yang diikuti Panakawan Semar, Gareng, Petruk & Bagong. Ki Lurah Semar mengenalkan kepada Sang Resi, bahwa Sidapaksa ini adalah putranya Raden Sadewa. Kemudian Sang Resi Jaladara meminta kepada Parikesit agar Bambang Sidapaksa dijadikan Patih Njero, dan yang menjadi Patih Njaba adalah Raden Janurwenda. Dan juga, Resi Jaladara memerintah Panakawan agar membawa pulang dhampar ini ke Negara Astina. Akhirnya Sang Resi bersedia ikut menuju Astina untuk menyaksikan acara penobatan itu dengan dituntun oleh Parikesit dan Dewi Lesmanawati. Setelah itu, Bambang Sidapaksa diperintahkan untuk menemui Suryakirana.
Karena sifat Suryakirana yang ngeyel dan ndugal, dia tidak mau melakukan perintah Sang Resi mandi di tujuh sungai karena ia merasa keberatan dengan perintah itu. Lalu ia berniat untuk membohongi Resi Jaladara dengan cara, hanya membasahi tubuhnya saja agar terlihat sudah mandi. Bersegeralah ia kembali ke Pertapan Grojogan Sewu. Di perjalanan, Raden Suryakirana dihadang oleh Bambang Sidapaksa. Terjadilah perselisihan di antara keduanya, timbulah peperangan. Sidapaksa kalah. lalu Sidapaksa meminta bantuan kepada Ki Lurah Semar, dan Sidapaksa diberikan senjata berupa pring/bambu wulung yang telah diberi wisa kadewatan oleh Sang Ismaya. Pring itu lalu dilemparkan tepat di dadanya Suryakirana, dan akhirnya Suryakirana mati sirna margalayu di tangan Sidapaksa.
Sumber narasi cerita diambil dari rekaman lakon Prabu Paripurna, Ki Hadi Sugito
Wayang koleksi Pak Agus Suranto